Dua Penulis dan Umpannya


Photo taken by Laurensius Dextraldi


Seperti memasang kail di ujung pena,

terkadang dua penulis harus memasang umpan.

 

Berbeda dengan bulir umpan nelayan,

Dua penulis pakai berbagai rupa umpan.

 

Seperti kewarasan,

Hati, pikiran, lara,

dan bahkan permainan mental.

 

Mereka terkadang berhenti menulis untuk rebahan di dipan lapuk.

Keduanya hanya bersandar kepada satu dan yang lainnya.

Berbicara soal ide-ide tulisannya,

Dan diskusi umpan apalagi yang perlu mereka tuai.

 

“Kamu mau kasih makan apalagi?”

“Terakhir jantungku, sedang saya siapkan umpan terakhir. Biar klimaks!”

“Apa?”

“Nadiku.” Matanya mengikat menatap yang satunya. Hening.

 

Dua detik kemudian keduanya hanya terbahak-bahak sambil menahan perutnya,

terlalu sakit akan hempasan tawa yang menusuk.

Air matanya sampai keluar, ironis.

 

Usai tertawa, genggaman keduanya semakin erat.

Mereka merengkuh satu sama lain.

Dalam relungan itu,

Mereka mencoba kembali bernafas.

Diam-diam melafalkan wangi tubuh keduanya, untuk diingat.

Barangkali yang satu meninggalkan yang lainnya lebih dulu.

 

Dua penulis itu sama-sama tahu.

Dua penulis itu sama-sama paham.

Dua penulis itu sama-sama mencintai.

Mencintai bahwa hidupnya akan menjadi umpan terakhir.

Mencintai bahwa nadinya akan dituai dalam karyanya yang setengah berlinang darah. Masterpiece, gumam keduanya.

 

Hampir terlelap, dalam pelukan, air matanya tergenang.

Tergenang lalu mengalir ke bawah dipan,

Disertai darah,

Akibat sayatan di tubuh mereka, bekas umpan.

 

“Biar klimaks.”

Yang satunya hanya menanggapi dengan tawa kecil,

Sembari mengecup keningnya.

 


Comments

Popular Posts