Saya, dll. Lahir Kembali

Dari mana saja?

Berapa lama saya kurang tahu juga estimasi saya bersemedi dalam lara.

Saya belum bisa menulis, menyair, berdamai dalam tulisan saya sendiri karena apa-apa terlalu lirih untuk diunggah.

Ketakutan saya melebihi keindahan frasa setiap karya yang menjadi-jadi biang keladi laman saya yang hampir usang.

Terlalu banyak untuk didawai dalam ulasan hati dan fikiran dalam laman ini, terlebih lagi tulisan saya yang satu ini.

Sedikit saya ingin kisahkan hidup saya yang belakangan ini bisa dibilang trubulensi terbesar dalam hidup saya.

Sebelumnya, terimakasih kepada Tuhan, berkat-Nya, saya pandai dalam meringkuh separuh mereka yang demen pegang pisau kalau saya meleng sedikit.

Keangkuhan saya yang begitu menyedihkan membawa saya ke jurang tirani untuk pada akhirnya kalang kabut hampir mati tergelincir, sampai lagi-lagi di tolong-Nya.

Tuhan bukan sekutu pamrih pada kami penikmat hujan kalau habis subuh. Tuhan bukan untuk dipertanyakan dalam analogi asumsi atau kerasionalitasan.

Kerasionalan hidup adalah hampa, dan sesungguhnya tidak ada yang menjamin kami untuk kebenaran sesuatunya.

Ulasan saya pada karya saya satu ini memang tidak luput dari-Nya, namun tidak juga luput dari saya.

Traktat hidup seseorang bukan hal yang pasti dan koheren.

Terlebih lagi lini masa begitu sinis dalam kehidupan sejahtera, seakan-akan semuanya saling menuntut dalam konteks ‘sempurna’.

Saya ingin ngadu sama Tuhan,
“Tuhan, kok saya lagi yang kena imbas?”

Sampai saya urung niat saya karena betapa menyedihkan pertanyaan tadi.

Saya tidak perlu sekelumit atau satu dunia berbagi belah kasihan pada saya. Pertanyaan saya itu macam orang kasihan yang kerjaannya minta dikasihanin.

Saya juga tidak peduli berapa banyak yang tersisa untuk mencarik sendu dari malam ini, lalu iba pada saya sampai tergeletak lesu menunggu saya berhenti menangis sampai subuh.

Saya tidak lagi peduli tinggal berapa sisa mereka yang menekuk ujung punuk sudut bibirnya, tersenyum madu, manis, lalu memeluk erat sambil pasrah menunggu bajunya kuyup air mata ini, tanpa pegang belati.

Yang tersisa biarlah tersisa, kalau-kalau dipenghujung waktu hanya aku dan Tuhan, biarlah tersisa begitu.

Serapah ini, bukan niatan rindu untuk mendekam mereka yang berkhianat sekalipun, karena pengkhianatan hampir lumrah bagi saya sendiri seumur hidup.

Tapi kiasan saya, sejenak untuk tedeng alih-alih paparan diri saya yang berkhianat pada saya sendiri.

Pengkhianatan terbesar adalah pada setiap individu itu sendiri, menikam tajam tubuhnya yang tadinya tidak apa-apa.

Yasudah, setidaknya diri ini ber-Tuhan, bukan hanya pas dikejar hutang, diamuk massa, atau di ujung tanduk ajal.

Akhirnya, saya ber-Tuhan, tak beralasan dan kian dipertanyakan,
karena berkah terbesar macam apa yang pantas dipertanyakan?

Comments

Popular Posts