Aman

Aku seperti jenaka yang letih menghirup nadi.
Berlari seperti anjing liar, meneduh dalam sepi.
Aku merasa dicintai, dikasihi, lalu dikhianati.

Terkadang aku bergeming, menatap matanya tajam dan berbisik lirih,

aku mohon...tinggal sebentar saja, jangan pergi dulu.”

Genggamannya enggan, dipaksakan.
Hausnya sudah dipenuhi, libido bangsat yang dibungkus manis pakai ‘cinta’, persetan!

Aku kira meneduh di perapiannya bisa selamanya, nyatanya tidak.
Tiga bulan kemudian, tubuhnya harum cumbuan bibir lain.

Sejak itu, aman, tentram, dan damai adalah ironi bagiku.

Aku seperti jenaka yang letih menghirup nadi.
Tertidur di bawah pohon ceri, lalu bayanganmu mendekat.
Mendapatiku merengkuh dadaku sendiri yang kesakitan, menyayat ujung nadiku sampai berlinang si merah ceri.

Kali ini aku yang dibisiki.
Tidak lirih, tetapi terlalu akrab dan hangat,

“istirahatlah sebentar di pangkuanku, manis,” buku jarinya menyisingkan helaian rambutku ke belakang kuping.
“Aku di sini, janji,” bibirnya merekah dan mengecup keningku.

Aman...

Duniaku seakan berhenti.
Tirani dan bekas tikaman di dekat jantungku membaik.
Tangisanku berhenti dan senyumku tersudut di ujung bibirku.

Kamu seperti pujangga di mimpi-mimpi gadis kecil yang bersedih.
Kamu seperti rumah yang hangat, tidak dengan perapian tetapi figura nenekmu yang tersenyum kemayu.
Kamu seperti petrikor, harum nestapa.
Kamu seperti kedamaian Buddha di bawah pohon bodhi.
Ah, kamu seperti hidupku dan matiku.

Mengapa?
Tidak, bukan hanya cinta sepanjang hayat, kebahagiaan, atau kasih sayang, tidak! Lebih dari itu semua.
Kamu membuatku aman.

Oh! Bodohnya aku.
Aku tidak perlu menjadi anjing liar yang berlari ke negri sebrang.
Aku hanya butuh kamu, kecupanmu, senyumu, relunganmu, dan welas asihmu.


Untuk menjadi aman.

Comments

Post a Comment

Popular Posts