Rasionalitas-Emosi
Tidak mencintai adalah kematian sesungguhnya.
Tidak mencintai adalah tidak hidup.
Andaikan semudah itu.
Tetapi mencintai adalah emosi yang abstrak.
Yang tidak abstrak adalah rasionalitas-emosi.
Keduanya kalau kata Epictetus saling mempengaruhi, aneh ya?
Mereka bukan hal yang biner, tetapi sebab-akibat.
Yang cukup aneh adalah perdebatan batin yang tidak kenal lelah.
Aku mencintaimu, tetapi aku cukup rasional untuk menghindarimu.
Lalu mereka berdebat. Lucu, bukan?
“Apa kau lihat-lihat? Mau menyalahkan aku? Wanita ini butuh pelukannya! Lihat! Kepalanya pusing 7 keliling mikirin dia.”
“Omong kosong! Dia hanya lelah sedikit. Kau kira jadi Sulung hidupnya tenang? Kau kira dia pusing hanya karena cinta monyet?”
“Pikirannya terlalu runyam untuk tubuhnya yang kering seperti ranting, malang betul.”
“Tidak, kau terlalu mengasihani dirinya. Hal sepele ini bukan apa-apa, pikirannya saja yang berlebihan.”
“Berlebihan kau bilang?! Dia ini kesepian, butuh sosoknya! Bayangkan, hampir dua tahun mereka bersama. Lihat-lihat, dia gelagapan!”
“Pikiran wanita ini berat karena siapa lagi? Karenamu lah! Si pencinta kasmaran yang hilang akal.”
Bisa tebak siapa Si Rasionalitas dan siapa Si Emosi?
Aku hanya diam, menunggu mereka sedikit tenang.
Aku memutar meja, menghadapkan keduanya.
“Dengar baik-baik. Aku hanya butuh diriku, kewarasanku dan cinta. Aku bukannya tidak butuh ketenangan, tetapi ketenangan itu ada kalau kalian berhenti bertengkar. Aku butuh keduanya, gejolak cinta yang buih-buihnya sampai ke pangkal lidahku. Tetapi aku juga butuh kesadaran dan dikitomi kendali. Bukankah itu hanya tercipta kalau kalian bekerjasama?” Kataku.
“Wanita gila! Suka membohongi dirinya.”
Bisa tebak siapa yang bicara barusan?
Comments
Post a Comment