Kegilaan dan Tidak Relevannya dengan Semesta
Self-potrait with Bandaged Ear - Vincent Van Gogh, 1889 |
Dalam cangkang ini,
aku hanya bisa gelagapan di tengah perputaran bumi yang begitu cepat.
Tidak terhentikkan dengan sekuat tenaga manusia.
Apalagi manusia lemah seperti aku.
Kegilaan ini justru menjadi-jadi.
Tidak terlihat tetapi ada.
Bujuk rayu belati tak tumpul.
Menyayat yang seharusnya bukan untuk dilayat.
Aku paham, Vincent.
Suara-suara itu.
Betapa menyiksanya sampai kau sayat telingamu.
Betapa sintingnya hari-harimu, tetapi dunia terus beputar.
Lalu orang-orang hanya meneriakki telingamu yang sebelah sampai pekak.
“Kau ini kenapa?! Apa kau gila?”
Lalu isakkan tangismu seperti berusaha melukis kegilaan ini.
Yang mereka tidak akan pernah pahami.
Tidakkah mereka mengerti, Vincent?
Kegilaan dan rotasi bumi yang begitu cepat.
Dimana kami hanya butuh sejenak untuk bernafas.
Karena gelagapan ditelan kewarasan.
Tetapi tidak ada ampun.
Ia terus berputar.
Memaksa kami untuk mati perlahan.
Haruskah aku menceritakan padanya?
Bagaimana kebencian ini tidak berakhir.
Tentang kelahiranku di jam 3 pagi itu.
Tentang dadaku yang masih bernafas.
Mengapa hidupku seperti terkutuk dengan segala kegilaan ini.
Bisakah satu hari aku bernafas seperti mereka yang tidak sakit jiwa?
Bisakah aku, Vincent?
Bisakah aku, Semesta?
Bisakah aku, Tuhan?
Comments
Post a Comment