Sampai Kapan?
Saya belajar satu hal dari patah hati saya, yaitu
satu : untuk tidak mencintai dengan berlebihan. Untuk mencintai sewajarnya,
sepantasnya, se-ala kadarnya.
Tapi apa itu mencintai dengan sewajarnya?
Tidak ada yang pernah wajar dari mencintai dan
dicintai, sungguh naïf Anda untuk mencintai seseorang bahwasannya hanya sekedar
dalam batas wajar, karena adalah tidak mungkin untuk begitu seseorang mencintai
seseorang dalam batasan wajar, karena ini itu cinta.
Cinta itu narsisme melihat ke atas. Melihat orang
yang kita cintai.
Jadi, untuk tidak melebih-lebihkan untuk mencintai
seseorang itu hampir tidak mungkin. Semakin kamu mengenal cinta, semakin kamu
menjadi kasmaran, dan semakin bodoh kamu untuk menjadi rasional tentang hidup
tentang tirani yang menunggu kamu di ujung jalan. Dan saya, akan terus menjadi
orang yang menganggap cinta itu kearifan yang sesungguhnya penantian tirani
yang akan terus begitu. Saya akan terus menjadi orang yang menganggap cinta itu
hadiah Tuhan bagi yang hidup.
Cinta itu pengalihan hidup yang fana. Tempat kalian
semua istirahat dari hidup, dari realita dan masa lalu. Kamu di ajak untuk
menjadi bahgaia sesaat, menjadi manusia yang merasa paling beruntung untuk
dicintai. Kamu lupa dengan hidup dan ketakutan pagi-pagi. Hadiah Tuhan untuk
kita akhirnya merasakan kebahagiaan yang begitu sederhana.
Tapi, Sampai kapan?
Akan begitu, sampai habis masa tenggang, dan cinta
yang akan melupakan kamu sebagaimana kamu melupakan hidup dan rentetannya yang
menyedihkan. Dan yang tersisa hanya akan ada kamu dan realita untuk kamu nikmati
setiap malam sambil sepoi-sepoi angin di tengah kamu yang merindukan cinta.
Akan begitu terus sampai akhir hayat, atau
setidaknya sampai kamu bertemu “dia” yang bisa membujuk cinta untuk tetap tinggal kala ia
ingin pergi.
Comments
Post a Comment