Ekspektasi
Saya menyadari satu hal
dalam hidup yaitu ekspektasi. Ekspektasi yang membutakan betapa lugunya manusia
untuk berharap pada hidup yang hanya berkerja seperti mesin kegagalan,
ketamakan, dan kekejian. Dan tidak akan pernah satu orangpun bisa memberi
tahumu apa itu keindahan hidup di semesta ini yang fana akan keadilan dan
ketulusan, Saya seperti bermain dengan hidup, saya berkenalan dan lalu menjadi
akrab, saya mengerti pada akhirnya saya harus apa dan bagaimana untuk bertahan
menjadi saya yang hanya segelintir orang memahami cara berpandangan saya.
Saya memahami bahwa
cara berpandang orang dengan ekspektasinya tidak akan pernah bisa memahami saya
yang berpandang luas dan tidak naif untuk akhirnya beraliansi dengan
kesengsaraan. Kebahagiaan yang sesungguhnya hanya kita dapat dari ketenangan diri
sendiri, bukan lagi apa yang ada di benak mereka semua yang memandang hidup ini
sebelah mata. Mereka memandang hidup sebagai pijakan mulus ke surga, sedangkan
saya sekedar penikmat hidup yang harap-harap cemas saya bereinakarnasi menjadi
gadis cantik yang diharapkan semua orang. Saya hanya memiliki segelintir orang
untuk memahami saya yang sebetul-betulnya.
Dunia saya itu berbeda,
saya memiliki spekulasi dan ekspektasi yang sangat berbeda dengan mereka yang
kasmaran, yang menghitung apapun dengan masehi, yang menghitung malam dengan
bulan berganti matahari di ufuk. Bagi saya, waktu adalah dimensi yang luas, dan
tidak akanlah habis suatu waktu jika kamu menikmatinya dengan mengabdi pada ketenangan
sejenak, bagi saya, malam adalah di mana saya akhirnya beristirahat dan
menikmati ibu kota.
Saya lagi-lagi harus
ikut-ikutan goblok. Saya lagi-lagi harus ikut dalam pergulatan batin manusia
yang berekspektasi akan saya dan hidup yang jelas-jelas brengseknya bukan main.
Dan kesalahan saya lagi-lagi adalah memaksakan manusia naif untuk berpandangan
seperti saya, kesalahan saya adalah memperkenalkan mereka yang berekspektasi
untuk menjalin kasih dengan kegagalan. Lagi-lagi tidak mungkin, dan lagi-lagi
kegagalan yang konyol.
Ekspektasi yang selalu
membuat saya tertawa, lagi-lagi ekspektasi. Manusia konyol untuk berkawan
dengan ekspektasi. Sekian banyak orang monodongkan ekspektasi terhadap hidup,
cinta, Tuhan, dan saya. Kekecewaan berkat ekspektasi, selalu begitu, dan saya
sudah lama tau, ekspektasi si iblis brengsek, dan pada akhirnya saya tidak
pernah berekspektasi.
Hidup itu untuk
dinikmati dengan kopi dan sebatang rokok dan teman bergurau, bukan dituntut
menjadi pemberkat kebahagiaan dan keadilan.
gua rasa karena merekalah yang membuat ekspetasi diatas ekspetasi, begitu pula realitas diatas realitas, menjadikannya benar-benar hanyut, lebur dalam sesungguh-sungguhnya ekspetasi itu sendiri.
ReplyDelete