Panggung Kehidupan

Saya harus banyak belajar dengan hidup.
Saya bukan lagi sekedar penonton bisu kejadian minggu lalu tentang padamnya siang yang lirih digantikan malam.
Tetapi saya yang dikejar siang yang ditimpa malam.
Saya kelabakan.
Saya bukan lagi yang harus tersenyum kalau dengan kabar senang, atau bersimpuh dalam kesedihan kalau dengar berita duka.
Saya yang berbahagia dan saya yang berduka.
Saya bukan lagi yang menikmati sepasang kekasih di bawah terpaan senja, dan silhoutte buram yang sering dijadikan figuran manis kalau habis berlibur ke dewata.
Saya yang menikmati senja di sampingnya.
Saya bukan lagi yang termanggu senyap kalau orang tua saya berdebat.
Saya yang beradu argumen.

Dimensi ini yang saya harus banyak belajar.
Saya harus satu langkah di atas 'provokasi bisu' atau 'penonton bisu'
Seolah-olah saya dibebankan dengan tanggung jawab untuk menjalankan peran.
Peran yang di alurkan hidup dalam alih-alih pertunjukan batin.

Sampai saya bertemu kamu, lalu saya sadar bahwa saya belum siap untuk berperan.
Saya masih terlalu kecil dan kikuk.
Saya masih terlalu naif dan bodoh.
Tameng saya masih luruh dengan kamu yang kian hari makin main-main dengan hidup saya.
Saya belum bisa berfikir panjang dan bertanggung jawab, saya bukan yang pantas untuk berbahagia.
Saya seperti hidup di bilik yang terjukau luas pada sebelah mata, tetapi apa itu arti sebuah bilik. Hidup dalam bilik yang menjadi pengkotakkan pendewasaan yang  sesungguhnya ilusi pikiran dalam keterbatasan wawasan seorang remaja dangkal seperti saya.
Dunia ini masih luas, realita masih panjang, dan kemenangan saya yang kemarin-kemarin bukan apa-apa dibandingkan kekalahan saya kelak.
Saya lupa bahwa saya bukan apa-apa, belum apa-apa.
Dan saya lupa saya terlalu egois untuk bersedih.

Untuk kamu dan hidup yang saya kecewakan.
Ajarkan saya untuk berperan.

Comments

Popular Posts