Sedulur

Bagaimana kalau ikatan darah bukan penentu batin dan nurani?

Bagaimana kalau waktu bukan lekangan durasi keakraban manusia?

Bagaimana kalau ternyata alam terlalu lucu untuk mempertemukan yang seharusnya dipertemukan?

            Tidak pernah ada yang instan kecuali batin, nurani, dan welas asih.

Singkatnya, tidak pernah ada yang menyangka untuk melepaskan distraksinya dari dunia dan mulai melihat satu per satu mereka yang hadir dan nampak bukan sebagai malaikat, tetapi sederhananya sebagai perapian mungil yang kalau sendu bisa kita inapi semalaman. Atau mungkin sebagai kaca dengan nampaknya yang beda tetapi batin yang sama.

Alam mempermainkan akal dan takdir supaya manusia selalu terbiasa dengan kejutan, walaupun mereka tidak akan pernah terbiasa, salah satunya kehadiran yang tak pernah diduga-duga.

            Bagaimana Tuhan dan hidup berkoalisi untuk memberikan berkah yang satu ini, kesederhanaan dalam tawa dan cerita masa lampau yang seakan-akan bekal jadi bahan guyon, walaupun saling menangkap makna dibalik itu semua. Bagaimana Tuhan bisa begitu lembut untuk memberikan berkah dan kebahagiaan yang lumrah dititpkan melaluinya.

Sedulur tanpa ikatan darah, kawan tanpa satu atap sekolah, sahabat tanpa 5 tahun, sesederhana itu dipertemukan.

            Semuanya begitu akrab, entah mungkin itu berarti kembar siam dulu di kehidupan lampau, atau dua ekor kucing yang doyan rebutan ikan, atau apa, kurang tahu.

            Tetapi alam punya caranya sendiri untuk bernegosiasi dengan hidup, mereka tidak tega melihat manusia dikecam hidup yang doyan banting hati, pikiran, dan nalar, menggoyahkan asa dan mengacuh-tak-acuhkan manusia yang hilang dalam penat dan kesedihan. Alam selalu bernegosiasi untuk tetap memberikan kebahagiaan mungil lewat orang-orang sedulur ini, dan terkadang hal yang terakhir kita bisa lakukan adalah bersyukur, bersyukur, bersyukur atas kehadirannya.

            Tidak pernah ada bandingan dengan kekuasaan, harta, atau kedengkian yang ditawarkan. Hanya welas asih yang tulus, kesedihan yang selalu dibagi, kebahagiaan yang tidak terjumlah, dan alasan untuk tidak meledakkan peluru sampai ke pangkal ubun-ubun.

            

Comments

Popular Posts