Kangen?
Mengapa paling susah baca
pikiranmu?
Aku paling pandai kalau soal
baca pikiran manusia lainnya, alurnya jelas tertera di torehan wajahnya. Kamu
pengecualian.
Dulu kita seperti bernyawa
dengan satu sama lain, aku bukan lagi baca pikiranmu, aku kuasai ragamu sampai
kulit tubuhmu, aromanya aku hapal.
Ada apa dengan kini?
Sudahkah kamu punah dalam ragaku? Sudahkah aku punah dalam ragamu?
Kian hari, lambat laun makin
miris bayanganmu, nampak tak nampak, aku bingung.
Risau bukan lagi perkaraku,
atau mungkin bukan lagi perkaramu.
Rindu bukan lagi perkaraku,
atau mungkin bukan lagi perkaramu.
Lalu, apa?
Mungkin, kini saat kita
mulai sadar.
Hidupku bukan hanya kamu,
dan hidupmu bukan hanya aku.
Hidupku penuh dengan manusia
dan ruangan penuh dengan bunga baru mekar disertai wewangian dupa dan khidmat
alam.
Hidupmu penuh dengan angin dan
jua malam yang tak kunjung sirna dari rembulan yang nampak habis dimakan kabut.
Lalu, apa?
Aku indah bagimu, dan kamu
indah bagiku.
Tapi lupakah kita dengan
alam?
Mungkin kini saat kita mulai
bersandar pada alam, sambil bercermin.
Ah, sialan!
Tapi di cermin aku juga
temukan dirimu.
Lalu, apa?
Wangimu hampir raib dari
batang hidungku,
Lagak jemarimu saat
menghisap kretek hampir sirna di pelosok otakku,
Caramu berjalan,
Menyeruput kopi,
Rasanya bibirmu,
Aku hampir lupa.
Lalu, lupa?
Sialan! Sialan! Sialan!
Bagaimana mungkin aku lupa?
Kalau detik aku menyertakan
tulisan ini terbayang sudah wujudmu,
Menyertai lakonmu yang
kurang ajar.
Lalu, APA?!
Oh, aku kangen?
Comments
Post a Comment