Sedulur Jilid. II

22.03
Sambil menyisip anggur.

Sedulur            : “Bukan! Seperti balap tikus! Manusia rakus, liabilitasnya juga termakan dengan kepala besar yang konsumtif, income gede, outcome yang makin gede, bayangin!”

Saya                : “Gilak! Sama aja bohong dong?”

Sedulur            : “Iya, mangkanya harus ada passive income.”

Saya                : “Ah! Tapi ini sudah salah dari cara berpikir manusia.”

Sedulur            : “Maksudnya? Kok peradaban ikutan disalahin?”

Saya                : “Dulu saat revolusi agrikultur, domestikasi padi dan pertanian membentuk pola pikir mereka untuk forecasting masa depan, dengan anggapan cadangan pangan berlimpah, sanak sodara berkecukupan bahkan surplus, tapi mereka juga beranak pinak, ya makin banyak lah yang makan! Jadi sama aja bohong. Sama, sekarang juga mau kerja keras dapat duit banyak, tapi naik jabatan, cicilan juga makin expand.”

Sedulur            : “Masuk akal juga! Betulan deh, sudah enggak ada main-main soal beginian, harus tau strategi keuangan, kerja juga jangan kayak blue collar, work smart bukan work hard.”

Saya                : “Budak korporat! Ya, mungkin juga kita awal berkarir jadi budak kompeni juga sih—“

Sedulur            : “Iya, tapi seenggaknya atasan bukan dikultuskan.”

Saya                : “Hahaha…Setuju!”

Sedulur            : “Sinting! Sudah berapa jam nih?! Enggak kerasa.”

Saya                : “Iyalah, sama saya, jelas waktu hitungan detik.”

Sedulur            : “Amit-amit! Hahaha...Lagian, kayak gini kan belum tentu sampai nanti, ada masanya lah.”

Saya                : “Maksudnya?”

Sedulur            : “Ada masanya begini, nanti juga ada masanya saling lupa.”

Saya                : “Maksudnya?”

Sedulur            : “Masa saya harus jelasin lagi? Kita berdua sekarang berimplikasi dalam hubungan, timbal-balik? Bisa jadi, atau hanya berat sebelahpun tidak masalah. Kalau setelah itu, apalagi? Apalagi yang tersisa? Kamu mungkin juga punya agenda hidup yang lebih baik, atau mungkin tugas saya selesai dan bisa ganti giliran dengan orang yang semoga saja jauh membawamu lebih baik lagi.”

Saya                : “Gila kamu, ya?”

Sedulur            : “Kemana saja? Saya enggak gila, saya cuman cukup akrab dengan realita, kamu tahu kan dunia ini gila? Mangkanya saya ikut terdengar gila. Pikiranmu fana, kefanaan manusia hanya sementara, yang betul malah dianggap gila.”

Saya                : “Saya rasa kamu bukan akrab dengan realita, tapi kamu terlalu akrab dengan dirimu.”

Sedulur            : “Memang! Ada yang salah?”

Saya                : “Saya.”

Sedulur            : “Kamu? Kamu kenapa?”

Saya                : “Saya mengajarimu kamu banyak hal, tetapi kurang satu; komitmen.”

  “Sampai tua saya mau sama kamu, tukar pikiran. Sampai nanti kamu jadi bego atau saya jadi tolol, kadang nyusahin atau enggak kasih manfaat, saya akan tetap tua bareng kamu. Mungkin kita lebih dari itu, kita lebih dari sedulur yang membahagiakan, tetapi kita sedulur yang terikat, bukan melalui darah tetapi komitmen dan afeksi.”

Sedulur            : “Kamu enggak pernah ada.”

Saya                : “Gila kamu? Saya selalu—“

Sedulur            : “Presensi.”

Saya                : “Presensi?”

Sedulur            : “Saya enggak butuh kamu jadi orang paling pintar untuk beri saya notasi baru. Saya hanya butuh presensi, waktu kamu. Saya butuh kamu hadir.”

Saya                : “Indikasimu hanya dari presensi?”

Sedulur            : “Enggak juga, tapi kadang kamu lupa waktu paling mahal dari semuanya.”

Saya                : “Masuk akal.”

Sedulur            : “Maaf, saya bukan skeptis. Tapi kamu makin terlihat kurang menghargai waktu.”

Saya                : “Sedulur yang menghargai waktu.”

Sedulur            : “Sedulur yang menghargai kamu.”

Comments

Popular Posts