Tak Bertuan


            Halo, bacaan ini sebetulnya pesan berkemas artikel. Saya ingin bercerita tentang kepemilikan. Kepemilikan pada dasarnya hak suatu subjek terhadap subjek maupun objek dalam artian sepenuhnya dikehendaki atas kewewenangan si pemilik, biasanya ditandai dengan arsip, sertifikasi resmi, label, merk, apapun yang terjamin baik.
Tapi kita di sini bicara ‘kepemilikan’ terlepas dari tanda tangan di atas materai, terlepas dari apapun itu.

Status?
Bukan.

Komitmen dan ketulusan.

            Perasaan dan analogi manusia itu indah untuk dinikmati, kami semua terhubung satu dengan yang lainnya, berpasangan, maupun tidak, tapi pada satu titik di mana kita semua merasakan itu ada, kepemilikan tak bertuan, terhadap sesama terhadap yang disayang. Kepemilikan tak bertuan, yang tidak dipertanyakan dan diragukan. Dan saya, harus mengakui, tidak lagi penting apa itu status atau apapun sebagai labelisasi/penamaan seseorang atas seseorang yang lainnya. Untuk apa? Untuk apa status dan berjuta-juta plang atas kepemilikan. Hubungan itu dinikmati berdua, dan akan terus begitu, bukan untuk publik, umum, guyon kawan, hubungan dan komitmen itu untuk berdua dan dunia berdua, sepasang yang setuju untuk berbagi kasih sayang yang tulus. Ibarat saya punya es krim, untuk saya, dimakan oleh saya nantinya, perlu saya taruh di atas platform dengan label besar nama saya? Atau cukup ditaruh dalam kulkas?
Sama hal-nya dengan ini.

            Tidak ada yang salah dengan status, tetapi apakah perlu? Ada satu masa di mana bukan kepemilikan atau rasa memiliki lagi, tapi rasa dimiliki. Rasa dimiliki yang tidak beralasan, seperti memahat sendiri peraturan-peraturan tidak tertulis karena rasa ‘dimiliki’ dan itu, suatu kebebasan dalam menyayangi seseorang yang begitu menyenangkan saat kita terbawa euforianya.

            Hebat ya? Sebegitu sederhana perasaan seseorang dalam aspek kasmaran bisa mempengaruhi analogi dan perspektif seseorang. Untuk mau diatur, untuk mau dituntut, untuk mau berkorban, untuk mau berdiskusi, untuk mau mengalah, untuk mau bertoleransi, tetapi semua itu dinikmati berdua, dan sebegitu sederhananya kebahagiaan ini untuk saling memiliki dan dimiliki, tanpa ada yang diperintah, disuruh, dipaksa, tanpa aba-aba dan dengan sendirnya. Dan dengan sendirinya pula, keduaya menyadari kesadaran untuk memiliki dan dimiliki.

Dan itu yang saya rasakan sekarang.

            Saya bersyukur akhirnya, akhirnya, bertemu dengan kamu. Saya bercermin dengan diri saya sendiri setiap kali kita tukar pikiran. Begitu merendahkannya saya kalau saya harus menyimpulkan deskripsian kamu dalam satu kata sederhana. Kamu itu lebih dari apapun itu, kamu lebih dari penyimpulan sampai frasa-frasa rumit sekalipun, dan bagi saya, kamu itu lebih dari cukup, sangat lebih. Saya orang paling bahagia sekarang, semua karena kamu. Saya belum sempurna sama halnya patah hati saya atau balada lampau saya dengan orang-orang miring. Saya masih harus banyak diperbaiki, pakai kamu dan kamu dan kamu. Kamu itu, apaya, my significant other, atau lebih, saya engga ngerti. Sulit sekali kalau jelasin kamu itu kaya apa, dengan kata-kata, otak saya langsung mentok.

            Saya di sini orang paling beruntung se-jagad, kenapa?

Saya milik kamu, saya kepemilikan tak bertuan kamu.

Terserah kamu memiliki saya atau tidak.

Tapi saya milik kamu,

Tanpa status,

Tanpa sertifikat,

Tanpa ijab kabul.

            

Comments

Popular Posts