Nomaden

Dari evolusi darwin sampai hierarki nenek moyang paling dekat atau asal mula manusia dari mulai kisah adam & hawa atau eden di taman firdaus, satu hal yang saya tanamkan sebagai ciri khas homo sapiens yang nurun dari buyut-buyutnya : Nomaden.

Hidup berpindah-pindah dan berekreasi sekaligus cari nyali baru seiring adaptasi dengan peradaban yang berbeda di setiap daerah yang sempat disinggahi.

Pencarian saya akhir-akhir ini menjadi ke-tolol-an yang luar biasa bodoh bin goblok, secarik guyon : Rumah.

Saya mencari "rumah", secara relatif, bisa rumah secara harfiah, tempat, makna, orang, sampai kotak sepatu bekas, semuanya bisa dijadikan rumah. Saya merasa pulang, berlabuh, berlayar, dan tetek-bengeknya.

Tapi apa itu pencarian rumah kalau kita nomaden, tidak boleh hidup pasif dalam sekerumpulan serdadu sunyi dan gubuk-gubuk hangat yang nyaman, kopi dan sebatang, dua batang kretek sampai senja. Apa gunanya mencari sebuah pasang-surut ombak yang menyapu kaki setiap malam sampai pagi dengan pendopo sederhana ditemani wewangian rempah-rempah dupa untuk yang katanya dianggap nyata tapi gaib. Untuk apa mencari semua itu kalau pada akhirnya kita : Nomaden.

Pendewasaan diri yang pada akhirnya kembali bercermin kepada diri kita masing-masing, yang untuk itu kita harus berpergian jauh sampai akhirnya kembali lagi ke titik 0 atau titik mula-mula dan menyadari bahwa sebenarnya kita mencari bukan untuk menemukan tetapi untuk menyadarkan.

Dari awal, saya belum punya 'rumah' yang konkret. Rumah untuk mengadu dan bersemayam, rumah untuk tedeng aling-aling yang kemarin saya sebut-sebut 'pulang', jangan tanya kenapa, tapi dari dulu begitu. Pencarian saya mengenai rumah dimulai saat saya mulai sadar bahwa yang lain punya 'goa'-nya masing-masing. Saya seperti sebatang kara yang hinggap sana sini cari kepastian untuk diakui sebagai salah satu bagian dari penghuni suatu rumah, tapi kerap, belum sempat ketemu.

Bentuknya macam-macam, mulai dari kawan, sahabat, perkumpulan, tempat ngaso, sampai kekasih. Tidak sekali, dua kali saya harus merelakan beberapa orang yang saya kira tempat terakhir untuk mengadu kalau-kalau ada seonggok hal yang engga penting untuk saya adukan, tapi intinya ingin saja mengadu yang lalu ingin di emong. Saya harus bersedih sendu sedan, menangisi kepergian apa yang saya kira tempat terakhir saya beristirahat, yang saya kira 'rumah', sampai-sampai kembali lagi dalam persepsi bahwa saya memang anak yang tidak pernah rindu soal pulang karena memang tidak ada rumah.

Tapi kembali lagi, bahwa saya akhirnya sadar, hidup saya bukan ke-abnormalan dengan tidak beringkuh pada atap rumah. Tetapi saya yang paling normal, saya yang paling unggul dalam berkenalan dan menjadi nomaden. Saya harus mencari sampai goblok untuk pada akhirnya tersadar bahwa jawaban itu ada pada elekuensi 0.

Beberapa dari mereka (atau kami) harus kegelimpangan dan wara-wiri karena baru kenal nomaden sampai histeria tingkat kakap karena tamparan keras padanya soal siapa kami sesungguhnya, si makhluk nomaden yang tak berujung bahkan sampai sisi pelosok bumi manapun. Akan ada waktunya di mana satu per-satu harus rela disadarkan dari amanat mimpi yang semata-mata hanya ilusi penjinakkan makhluk sosial.

Kejutan setelah itu merupakan benturan monokrom, dibungkus dengan apik, lalu, yang selanjutnya bisa buat hilang akal sempurna manusia. Kepemilikkan yang hampa. Dibalik semua relungan tentang perpindahan yang melelahkan adalah paripurna dari kepemilikkan, bahwasannya yang kita miliki selama ini adalah bukan apa-apa. Se-klise pepatah itu sendiri 'Tidak ada yang abadi' dan apa yang kita miliki sekarang sesungguhnya bukan apa yang sebenenarnya kita miliki, termasuk 'rumah' itu sendiri.

Comments

Popular Posts