Kecoak
Unggahan saya kali ini bukan bicara soal konflik diri,
cinta, hidup, pokoknya bebet-bobotnya yang banyak orang baca berkali-kali tapi
pada akhirnya masih nanya sama saya “apaanih
maksudnya?” Saya mau angkat topik yang cukup sederhana, engga sederhana sih
tapi lebih mudah ditelaah bagi kebanyakan orang dibandingkan lampiran-lampiran
saya sebelumnya.
Kecoak.
(tadinya saya mau tempel gambar kecoak tapi saya
enek, akhirnya enggak jadi)
Saya kadang kalau cuman dengar namanya saja suka
geli-geli sendiri, ngerti enggak? Kayak secara harfiah saya betulan geli sendiri,
seketika badan saya langsung kasih reaksi geli padahal cuman denger doang.
Istilahnya kaya makanan atau obat atau apapun yang dikonsumsi kalau bertolak
belakang dengan tubuh, si orang langsung muntaber atau tutup usia. Kebayang
enggak sih? Kecoak itu dalam satu tungkai, SATU tungkai kakinya itu ada sekian
juta bahkan lebih bakteri dan najis-najis lainnya, dan kalian coba hitung kecoak
kakinya ada berapa. Belum lagi kalau diinjek nanti bangsat-bangsatnya keluar dari tubuh terus jempol kita ikut kena, sialan, dibiarin hidup ganggu, dibunuh
jadi penyakit.
Sampai saya akhirnya mikir, Tuhan bilang tidak ada
ciptaannya yang hadir di dunia tanpa kelebihan atau faedahnya, terus saya
mikir, lho! Itu ada kecoak! Saya juga
tidak bisa memberikan pernyataan yang konkret bahwa selain di Indonesia itu
kecoak cuman buat ngerjain orang buat ulang tahun atau acara televisi yang
masukin orang ke bak yang isinya bejibun
kecoak. Di Jepang orang makan kecoak, walaupun capek sendiri gorengnya
berkali-kali terus pas dimakan dagingnya cuman se-yupi, yang padahal udah makan
sekantong tetep aja enggak kenyang. Dan kadang di luar negri kayak di Amerika
ada kecoak Madagascar yang lebih keren dari kecoak kita yang bapuk banget. Warnanya lebih bagus,
bentuknya engga jijik, enggak kaya kecoak di pojok dapur yang dari jauh aja
udah NAJIS banget.
Dan kadang, kebangsatan
hidupnya belum sampai disitu aja. Ada yang namanya :
Kecoak Terbang.
Setan! Astagah
Tuhan Semesta Alam! Najis! Kalian
pernah enggak sih lagi buang hajat, tiba-tiba ada kecoak, terus disiram,
bukannya insyaf atau ngibrit atau menyesal hidupnya hina mengganggu orang lagi
buang najis, tapi dia malah TERBANG! Terbang kayak enggak punya dosa. Ya
pokoknya, saya engga ngerti Tuhan kenapa ngasih sayap ke makhluk laknat itu,
ngasih hidup saja sudah salah, ini ngasih sayap. Kadang saya mikir kenapa enggak
anjing saya saja yang dikasih sayap, kan lucu, atau kuda dikasih sayap kan
keren kaya pegasus, tapi ini KECOAK
yang dikasih.
Terus mungkin kalian bingung, ini betulan satu halaman
ngomongin kecoak doang?
Kalian sadar enggak seberapa detail saya mendeskripsikan
kecoak, sampai tahu berapa kuman disetiap kakinya, ada orang Jepang yang makan
kecoak, dll? Kalian sadar enggak saya juga sebenci itu dengan kecoak? Benang
merahnya adalah, semakin adanya hasrat membenci, tingkat keinginan tahu tentang
hal itu sendiri meningkat. Dalam konteks ini, keterkaitannya dalam hidup kita
banyak, saya juga bukan mau bicara klise soal ‘semakin kita benci semakin kita
cari tahu’, atau ‘orang yang benci dengan kita adalah penggemar tertunda’,
atau, ah yang lainnya lah.
Saya setuju kalau ada orang yang bantah bahwa beberapa
orang memang membenci tanpa ada rasa ingin tahu tentang orang yang dia benci.
Tapi kalian sadar enggak sih kenapa bisa kalian cari tahu lebih banyak tentang
mereka yang kalian benci?
Sebetulnya bukan karena kalian iri, atau kalian
‘penggemar tertunda’ Ya, gini deh, memang saya iri sama kecoak? Saya malah
kasihan hidupnya monoton, sudah jelek, enggak guna, beranak banyak banget lagi.
Tapi kita cari tahu sebetulnya ada hasrat untuk merendahkan dan itu menjadi
kepuasan diri sendiri saat kita tahu kelemahan mereka dan seakan-akan
menganggap ada kemenangan sedikit di dalam diri kita sendiri.
Jujur, saya juga pernah begitu, sampai saya sadar bahwa,
hidup saya jadi jurnalis personal untuk si orang ini, bukan karena sayang
penggemarnya, tapi saya jurnalis yang mau mengungkap kebusukan orang. Saya cari
tahu banyak dari dulu tentang kecoak karena saya mau membuktikan bahwa kecoak
enggak guna sama sekali, dan saya akan terus mencari celah untuk tetap
menghakimi kecoak walaupun semestinya sedari dulu sama Tuhan sudah harus
dihakimi. Dan saat kita menjadi jurnalis, bisa pulang membawa berita tentang
kebusukan mereka yang kita benci siap diedarkan di media manapun, ada kepuasan
yang tinggi di dalam diri kita sendiri. Ya sederhananya, ada bahan gibah, tapi sebetulnya lebih dari itu,
lebih tepatnya, senang melihat lawan kita cacat.
Jahat ya kelihatannya kalau diuraikan di sini? Memang,
tapi kita sendiri kadang enggak sadar kalau ngelakuin itu. Kadang lingkungan
kita sendiri yang menjadikan kita seperti itu. Tetapi, pada akhirnya, akan
menjadi sifat manusia yang sangat lumrah, sangat lumrah yang sampai-sampai
dianggap biasa padahal salah.
Saya sempat begitu, sampai saya menjadi kecoak, saya yang
menjadi incaran jurnalis-jurnalis pribadi saya. Dan sekarang saya cuman bisa
tertawa, terkadang kita tidak bisa berbuat banyak, walaupun semua orang selalu
ngingetin saya kalau kecoak bukti revolusi peradaban makhluk hidup, dan Si Bangsat itu tahan radiasi, tapi saya
tutup kuping, karena apa? Saat kalian membenci suatu hal, hanya ada kenegatifan
perspektif yang terpancar, dan kalian akan menjadi buta parsial terhadap
kebaikan yang ada dalam hal tersebut.
Tapi, emang enggak capek jadi jurnalis hidup
orang yang kalian selidikin karena isu personal bukan isu negara atau
kepentingan publik? Capek pasti. Tapi capek enggak sih jadi kecoak? Haha
boro-boro, kayaknya setiap saya semprot pake shower, doi cuman nyengar-nyengir doang sambil “eh gakena, eh gakena” “mampus lu gue bisa terbang” Seru kan?
Jadi
kadang, kita harus jadi kecoak, yang selalu bahagia walaupun dibenci satu
dunia, daripada kelinci tapi hanya hidup di kandang, terus sering di pegang-pegang
sama bocah-bocah habis itu, 2-3 hari kemudian mati. Intinya, jadi bahagia untuk
diri sendiri itu paling penting, dan seburuk apapun kita, pada akhirnya di
belahan dunia sana, ada beberapa orang yang hobi pelihara dan koleksi kecoak.
Comments
Post a Comment