Rumah (SCRIPT)



Pria                  : “Sudah?”
Wanita             : “Sudah apa?”
Pria                  : “Sudah kamu nomaden?”
Wanita             : “Kenapa? Baca muka Saya, ya?”
Pria                  : “Bukan, Saya aja daritadi liatin bulan.”
Wanita             : “Sama saja bukan? Lihat Saya dan lihat bulan?”
Pria                  : (Tertawa pelan)
                          “Kapan kamu berhenti?’
                          “Kemana lagi?”
Wanita             : “Rencana habis ini, Tanjung Harapan, atau Amazon, atau mungkin pelataran Pasifik.”
Pria                  : “Dasar gila.”
Wanita             : “Memang.”
Pria                  : “Nurani-mu luas, sehantar alam dan ladang jagung, tetapi kamu  buta.”
Wanita             : “Untuk apa saya melek? Kalau harus lihat hidup kalap dan raib, semesta bermain dengan takdir, menjadikan cinta tumbal terakhir, akhirnya bingung harus kemana, alih-alih rumah mereka seluruhnya porak-poranda, menyatu dengan tanah.”
Pria                  : “Coba kamu lihat dulu, Saya sudah bangun rumah dua tahun ini, untuk kamu.”
Wanita             : “Sudahlah.”
Pria                  : “Coba kamu lihat dulu, sebentar.”

  “Masih sederhana, tetapi cukup apik untuk kita berdua dan empat malaikat kecil nantinya, bukan kastil, tetapi senada dengan alam dan serdadu welas kasih. Kalau pagi, tapakmu bersentuhan dengan pasir, sesekali ujung jemarimu dicium ombak. Kalau senja matahari seperti bercinta dengan laut, melebur satu lalu raib tersisa mutiara kiasan pancarannya. Sampai akhirnya, malam, kamu bisa lihat bulan, kamu bisa pada akhirnya berareolasi dengan dirimu sendiri.”

Wanita             : “Saya—“
Pria                  : “Sudah? Sudah lihat?”
Wanita             : “Sudah.”
Pria                  : “Sudah kamu nomaden?’
Wanita             : (Diam)
Pria                  : “Harus Saya tanya sampai tiga kali?”
                          “Sudah kamu nomaden?”
Wanita             : “Sudah.”

Comments

Popular Posts