LGBT
Sebelum saya berargumen
dalam bentuk apapun di tulisan ini, ideologi dan tiap-tiap pemahaman dari
banyak orang tidak saya wajibkan untuk membahas dan memahami rumpun perdebatan
di dalam artikel saya kali ini. Konsep
perdebatan yang ada, adalah mereka yang berideologi sama untuk mencapai sebuah
konsensus, dan bertepatan bagi mereka yang berlainan ideologi tidak
memungkinkan untuk sebuah perdebatan itu mencapai apa-apa kecuali kenihilan. Jadi,
singkatnya, sebelum saya menjelaskan rentetan tetek-bengeknya soal konflik satu
ini, saya menghargai setiap ideologi yang Anda anut, dan apabila bertentangan
dengan idil saya sendiri, sangat saya sarankan untuk tidak membaca lebih
lanjut.
Lebih sederhananya, LGBT atau LGBT(I) atau LGBT+, dll
sebutannya, ialah sebuah organisasi, komunitas suatu perkumpulan yang memiliki
perbedaan orientasi seksual yang condong dikategorikan non-heteroseksual.
Kurang lebihnya, organisasi ini berdiri sedari era 90’an dan mungkin sebelumnya
banyak orang yang sudah berinisiatif untuk menglegitimasi orientasi seksualnya
terhadap dirinya sendiri tanpa pengakuan publik. Belakangan ini, terutama di
negara kita, Indonesia, isu pemahaman tentang hal ini sedang ramai dibicarakan.
Meledaknya globalisasi menjadi salah satu alasan isu LGBT menjadi sorotan,
pemerintah juga mulai mengeluarkan konstitusi mengenai LGBT ini yang memicu
banyak protes, yang mengartikan kita hidup dalam demokrasi yang sehat karena
masih banyak rakyat yang tidak apatis.
Digolongkan bahwa aksi LGBT
adalah penyimpangan sosial bagi kebanyakan rakyat yang terbilang kaum
primordialis. Tetapi apakah mereka menyimpang?
Sebelum tiap-tiap dari kami lahir dan menganut sebuah
ajaran, budaya, agama, ada suatu pemahaman sendiri terhadap
identitas yang melekat pada diri itu sendiri. Dalam kata lain, seorang wanita
yang lahir di tanah Jawa di klaim sebagai orang Jawa, mengapa? Apakah karena
dia memang seorang Jawa? Atau karena dia lahir dalam lingkungan Jawa, tanah
Jawa, budaya Jawa, orangtua yang mengaku Jawa? Wanita tersebut mengalami
hegemoni budaya. Seseorang wanita yang lahir di tanah Jawa, bukan berarti dia
adalah seorang Jawa. Dalam Demokrasi Radikal, kehidupan yang sehat dalam suatu
negara adalah saat subjek atau agennya mulai terdetotalisasi, dalam artian
tidak ada hal-hal yang sifatnya esensi mendasari sikapnya, yang berarti juga
sifat manusia itu tidak menentu. Saat wanita itu lahir di tanah Jawa, seketika
hari esok dia merasa dirinya bukan seorang Jawa melainkan seorang Batak atau
apapun itu, mungkinkah hal itu menjadi lumrah? Tentu mungkin. Saat kerasionalan
diri itu mendetotalisasi setiap individu, mereka akan mengerti bahwa hegemoni
yang mereka alami bukanlah suatu peng-labelan identitas yang melekat dan tidak
bisa hilang. Semuanya menjadi tidak menentu.
Sama halnya dengan mereka yang tergabung dalam komunitas
LGBT, saat meraka lahir dengan sebuah kebenaran metafisik, mereka lahir dengan
suatu kelamin vagina, tentukah dia seorang wanita saat perkembangan orientasi
seksual mereka tidak menunjukkan seorang wanita? Saat seseorang terlahir dengan
kelamin penis, tentukah dia seorang pria saat perkembangan orientasi seksual
mereka tidak menunjukkan mereka seorang pria? Dalam hal ini, kehidupan yang
begitu tidak menentu saat mencapai kehidupan sosial tertinggi demokrasi,
menjadikan diri itu sendiri terdetotalisasi, yang berarti tidak ada suatu
ketulenan setiap manusia, tidak ada wanita tulen, pria tulen, atau apapun itu.
Lalu bagaimana dengan kebenaran? Kebenaran itu sendiri
akan datang sendirinya, dan yang selanjutnya kebenaran hanya menganut
artikulasi itu sendiri. Yang berarti tidak ada yang benar-benar benar, atau
benar-benar salah, karena adanya artikulasi yang menjadi pembeda setiap
kebenaran yang di anut setiap orang. Dan pada hakekatnya, saat masyarakat mulai
hidup dengan banyak perbedaan kelompok mulai dari LGBT, atau mungkin kelompok
yang selalu di labelisasi sebagai ekstrimis yang menentang kaum mayor, akan
adanya pemahaman perbedaan karena sering berhadapan dengan perbedaan artikulasi
yang kedepannya, pemahaman itu muncul sendiri.
Kembali lagi ke titik awal pembahasan kita dalam hal ini.
Mungkin ada tanggapan, setelah membaca ini, bahwa :
‘Sesungguhnya segalanya
telah diatur dengan Kitab Suci saya, pengelompokkan manusia hanya terbagi
menjadi dua : Pria & Wanita, selebihnya adalah menyimpang’.
Jika belum jelas lagi, sebelum adanya pembahasan ini,
saya telah jelas menyatakan bahwa saya tidak adan berdebat dan menyarankan
untuk membaca artikel saya ini bagi mereka yang sekiranya fanatik terhadap
Kitab Sucinya, atau mereka yang berpegang teguh dengan kepercayaan yang
bersifat transenden, mengapa? Karena saat seseorang mulai mengeluarkan pemahaman
seperti di atas, itu bukan suatu hal yang bisa diperdebatkan, bukan berarti
saya membicarakan benar salahnya pernyataan tersebut, tetapi pada dasaranya,
artikulasi kami dalam kebenaran berbeda, dan ideologi kami berbeda, sampai
suatu perdebatan itu mau dipaksakan seperti apa, yang terjadi hanya akan ada
konflik, bukan konsensus itu sendiri yang menjadi tujuan kami berdebat. Tidak
harus saya memaksakan pemahaman saya bagi mereka yang hidup dalam kehidupan
yang apriori.
Sederhananya, sebuah gagasan dan argumen selalu memicu
tanggapan yang beragam, tetapi diskusi dan perdebatan yang sehat dan bernilai adalah
perdebatan yang sesungguhnya akan mencapai konsensus yang riil. Saat sebuah
perdebatan hanya memicu konflik dan menjadi tidak sehat, perlukah adanya sebuah
perdebatan itu?
Pada akhirnya, tidak hanya LGBT, tetapi anggapan suatu
kebiasaan yang terkesan menyimpang moral yang dianggap ‘baik’ tetapi ‘baik’
karena dianut kaum mayor bukan ‘baik’
karena ‘benar’, akan terus menjadi isu yang sengit karena banyak orang
berargumen dengan landasan artikulasi dan ideologi yang berbeda dan selalu berakhir
pada arena pertikaian. Dan biarkan sebuah anggapan seseorang menjadi sebuah anggapan
itu sendiri, karena tidak wajib untuk kami memaksa setiap masyarakat mengerti
dan memahami hal yang tidak akan mereka capai disaat dirinya masih terdominasi
dengan hegemoni itu sendiri, yang lambat laun kebenaran yang mereka anut dan
fanatik menjadikan individu itu sesuatu diri yang primordialis.
Comments
Post a Comment