Pria
Peran yang paling penting sebagai
pria adalah : Hakekatnya.
Hakekat menjadi seorang pria bukan penggolongan suatu
sekat antar maskulinitas dengan feminitas. Membicarakan pria dalam kasus ini
bukan sekedar-kedarnya hanya untuk meremehkan feminitas, dan mengedepankan pria
dalam segala aspek kehidupan.
Tetapi hakekat seseorang pria adalah menjadi :
Superior
Superior bukan berarti sifat yang subjektif terhadap
gender lain, tetapi superior terhadap dirinya sendiri. Dalam arti lain begini,
seorang pria memiliki kewajiban dalam menjadi kepala rumah tangga kelak dan
segalanya tidak lepas dari satu hal yakni, tanggung jawab. Tanggung jawab
adalah dasar moral yang paling mendasar dalam menjadi superior. Selain tanggung
jawab, pria juga dituntut untuk berdedikasi tinggi, bertata krama tinggi, namun
apa itu semua jika semuanya sudah ada tetapi tidak selalu betul? Penempatan
posisi dan jabatannya, atau derajatnya. Seseorang pria wajib memilah tempat
untuk menjadikan dirinya terkedepankan dengan ide dan gagasan yang jelas dan
baik, seseorang pria wajib memilah tempat untuk menjadikan dirinya tunduk
setunduk-tunduknya saat bersimpuh di depan ibunya. Dan segala hal yang
lain-lain akan menjadi sangat tepat untuk bertingkah-laku saat seorang pria
paham betul dengan penempatan-penempatan dirinya itu.
Yang berarti apa? Mereka
menjadi Superior dalam dirinya sendiri.
Singkatnya, menjadi superior dalam dirinya sendiri
berarti seseorang pria itu dapat bermoral, berakal, berperilaku dengan baik
pada tempatnya. Superior dalam diri sendiri bukan berarti merasa angkuh atau
hebat, melainkan dengan mereka yang dapat menjalankan segala kewajiban mereka
dengan baik dan tanggung jawab.
Pertanyaannya, akankah ini
menjadi sebuah problema saat superioritas ini berdampak pada penyetaraan
gender?
Ya dan Tidak
Tidak, jika pria itu sendiri
paham dan menjadikan dirinya superior dalam dirinya sendiri, dan
Ya, jika pria itu
mengartikan dirinya superior terhadap wanita.
Mengapa kebanyakan dari pria
berakhir menjadi superior terhadap wanita?
Yang mereka coba ujukkan adalah hakekatnya yang di ujung
tanduk. Saat seseorang pria gagal dalam menjalankan tugasnya untuk bertanggung
jawab dan tidak bermoral, tetapi pemaksaan ketulenan seorang pria terpaut dalam
kehidupannya, maka mereka mau tidak mau mempertahankan hakekatnya, yang berarti
mereka harus tetap menajadi superior. Berkenaan dengan hal ini, berbagai cara
mereka lakukan, entah menjadi superior terhadap sesama gender, adu kuat, adu
fisik, agar pada akhirnya mereka tetap diartikan sebagai pemegang kekuasaan
yang hebat, atau yang lebih sering terjadi dan sebelumnya saya sudah sebutkan
adalah dengan mereka yang menjadi superior terhadap wanitanya.
Pria memang terancam dengan garis tipis diantara upaya
mempertahankan derajatnya dan bajingan.
Sekian ratus, bahkan berjuta-juta kali, saya selalu hafal rengekkan wanita yang
menyimpulkan bahwa pria itu selalu di cap bajingan,
tidak menggubris hakekat wanita, dll. Tetapi sesunggunya semua ini adalah upaya
mereka agar terlihat ‘hebat’ dan mempertahakan superioritas itu sendiri,
mengapa? Karena mereka gagal menjadi baik dan hebat dalam diri mereka sendiri,
mereka lalai dalam bertanggung jawab, mereka lalai dalam bermoral, mereka lalai
dalam berakal, dan akhirnya memilih wanita untuk dijadikan pembuktian kekekalan
derajatnya.
Jadi,
saat sebetulnya seorang pria tidak bisa menghargai wanita, atau bertingkah laku
baik terhadapnya, mereka bukan lahir dengan menjadi bajingan, adalah mereka yang gagal menjadi superior dalam dirinya
sendiri, yang lalu menjadikan dirinya superior terhadap orang lain.
Maka dari itu, ber-ibalah kalian
dengan pria yang cenderung mencari jati dirinya dengan bertindak tedeng
alih-alih mereka lebih superior terhadap wanita, karena sesungguhnya mereka
baru saja gagal menjadi pria.
Comments
Post a Comment