Do’a – Do’a

Wanita             : “Selalu begini bukan?”

Pria                  : “Apa?”

Wanita             : “Saya selalu merasa sendiri.”

Pria                  : “Kamu enggak anggap saya?”

Wanita             : “Justru itu.”

Pria                  : “Maksudnya?”

Wanita             : “Saya bukan yang biasa hidup dengan individu lain, saya hanya saya, saya hanya mengandalkan saya, dan saya akan selalu hidup dengan saya, sampai—“

Pria                  : “Sampai saya hadir?”

Wanita             : “Sampai kamu hadir, Saya seperti apa-apa kamu, seharian mikirin kamu, ada apa-apa bilang ke kamu, semuanya baru dan awam bagi saya untuk menggantungkan seluruh hidup saya di tangan kamu.”

Pria                  : “Lalu, kenapa ngerasa sendiri?”

Wanita             : “Kamu bisa membolak-balikkan tanganmu, sengaja maupun tidak, saya yang hidup di genggamanmu harus bertahan mati-matian sampai kadang tanganku sudah menanggung beban tubuhku yang tertopang di buku-buku jemarimu, kau jentikkan jari saja, saya sudah jatuh lalu mati di tanah. Kehadiranmu merubah segalanya, termasuk saya, tetapi saat kehadiranmu absen sedikit dalam ranahku, saya bisa gila dan tak tau menau bagaimana caranya bernafas.”

“Saya si penjelajah yang sendiri, sekarang harus duduk manis di rumah kayu yang kau rakit. Saya gundah tiap hari menunggu kamu pulang.”

“Saya dulu tidak apa-apa menjadi sendiri saat saya sendiri, namun sekarang saya bisa mati dimakan pikiran saya sendiri jika menjadi sendiri saat sudah ada kamu.”

Pria                  : “Berdosakah saya?”

Wanita             : “Tidak.”

Pria                  : “Maaf, ini menyiksamu, kan?”

Wanita             : “Proses dan adaptasi bukan perkara instan, butuh pengorbanan pikiran dan waktu, lagipula kamu pantas untuk pengorbanan ini semua.”

                        “Saya juga menyadari satu hal, sebaik apapun dirimu, sebaik apapun diri saya, tidak akan pernah lekang dari ketidaksempurnaan yang membuahkan kekecewaan. Kita manusia, ingat? Kita hanya pulau kekecewaan yang luas, pabrik kekecewaan nomer satu di muka bumi ini.

                        “Satu-satunya zat yang transenden dan astral, yang bisa menjadi tumpuan akhir dari segala-galanya diri saya yang menanggung sekian banyak beban ini, hanya Tuhan dan do’a kepada-Nya.

                        “Saya justru yang terimakasih sama kamu, mengingatkan saya betapa kecil dan naif manusia untuk diandalkan, kita cuman butuh berdo’a dan ruang ibadat untuk-Nya.”


Pria                  : “Sama-sama.”

Comments

Popular Posts