Mimpi

Aku dulu pemimpi, aku doyan mimpi, sampai-sampai aku doyan tidur dimanapun. Anganku bebas singgah dalam cerita dan kefanaan yang melebur satu dengan harapan, membuatku terlena dalam tidurku, membuatku lupa dengan hidup yang sengit dengan perjudian nasib.

Aku berangan-angan, sampai anganku sendiri yang berangan.

Mengapa?

Bagaimana ini semua tidak mungkin?
Bagaimana tidak mungkin semua orang tetap berangan?

Bagaimana itu semua tidak mungkin kalau memang ternyata hidup ini adalah miniatur kegilaan neraka?

Jelas kami bermimpi.

Sampai-sampai aku meringis seperti bertatap muka dengan kematian saat aku terbangun, saat aku meninggalkan senja di ufuk barat pantai, saat aku meninggalkan ilalang dengan pijakanku yang mungil dengan gaun merah jambu bekas dijahit ibu, saat aku meninggalkan teras dengan semilir angin dan teh hangat serta asap cerutu bapak yang semerbak.

Bagaimana aku tidak ingin memutar batang leherku sendiri sampai koit saat aku terbangun dan meninggalkan itu semua ? Mimpiku! Semuanya!

Tetapi itu dulu, karena dulu aku pemimpi.

Aku sekarang bukan lagi yang doyan mimpi, aku penggila pagi, siang, hampir senja, dan tengah malam. Aku penggila setiap sudut waktu aku terbangun dari tidurku.

Kamu.

Kamu alasan aku berhenti bermimpi karena keindahan yang menggila ada di pelupuk mataku.

Aku tergila-gila sampai mimpi seindah apapun tidak pernah seindah matamu yang dihiasi pancaran rembulan kalau malam-malam.

Aku memperhatikan garis wajahmu yang lugas, seperti aku menghafal jalan ke rumahku, aku juga memperhatikan raut wajahmu yang berbicara lebih banyak dari bibirmu yang selalu tak bisa aku nanti-natikan untuk aku cumbu, kamu seperti rangkaian cerita dalam buku kesukaanku, bedanya, lebih nyata, bahkan sangat nyata.

Aku tetap meringis saat bangun, menahan senyum yang ingin aku unjukkan selebar-lebarnya, aku juga tetap ingin memutar batang leherku, ke sebelah kanan, sampai aku mendapatkan sekujur tubuhmu yang naik turun, bernafas damai, matamu sayu letih, lalu begitu saja, seluruh mimpiku luluh lantah dengan geraian ingatanku yang kelam, otakku tidak bisa menerima suatu anugrah dan keindahan yang begitu besarnya dalam detik itu saat sejungkit bilik memoriku masih merekam mimpi semalam, aku butuh berjuta-juta bilik untuk mengingat ini semua.

Astagah, kalau kata mereka,
“Mimpi apa kamu semalam?”

Mimpi apa aku semalam? Bisa punya kamu?


Comments

Popular Posts