SAYA, dll. dalam 2 Tahun
PRAKATA : Setelah
dua tahun Penulis bercinta dengan blog ini, Penulis ingin berbagi cerita
tentang aspirasi dalam menulis, dll.
Genap dua tahun sudah saya bercerita asah yang
terselubung bermakna sendu, karya, kagum, dendam, cinta, kasmaran, sampai
rindu.
Semuanya tertuang di dalam laman blog saya.
Genap dua tahun ini saya rasa memang belum cukup
menggambarkan seluruhnya, tetapi cukup memberi cuplikan hidup saya.
Entah dorongan apa, tapi saya rasa dua tahun ini
cukup untuk bercerita sedikit tentang saya dan blog saya, tanpa kamuflase
diksi, dan segamblang kertas polos.
Saya tidak pernah mencari apa-apa dengan menulis dan
merajuk orang-orang untuk membaca, kecuali maksud bercerita. Saya hanya ala
kadarnya bercerita tentang orang-orang di hidup saya yang memberi gejolak emosi
dalam hal apapun.
Saya tidak peduli apa-apa selain apresiasi orang
dalam literasi dan membaca, memaknai apapun yang mereka ingin maknai, memaknai
yang menjadi makna saya atau makna baginya karena makna hanya cerita soal
perspektif.
Biarlah
makna itu sendiri mengudara, karena kejelasan juga bukan hanya dari saya.
Sedikit
agak membuka rahasia, mungkin tidak lagi rahasia bagi lingkaran kecil saya.
Setiap unggahan laman blog saya tidak pernah absen dalam satu subjek, atau
setidaknya kelompok. Setiap tulisan saya sebetulnya pesan, cerita, dan
sindiran. Bahkan beberapa teori konspirasi, teori berpikir, pembahasan rasional
seperti : LGBT, bahkan Pria , semuanya terdapat subjek yang saya
ceritakan atau saya tuju. Bahkan, tulisan saya : Kecoak, juga guna sindir orang.
Saya
merasa diksi tidak pernah terbatas, justru mulut dan indra lain yang terbatas.
Diksi
seperti kolase-kolase kecil, lalu menjadi rubrik seni dan memiliki pikirannya
sendiri. Dengan menulis saya merasa terobati, mulai dari sakit hati, kesedihan,
saya bercerita di sini, melemparkan kesedihan saya pada orang itu tanpa mereka
sadari, bahkan mereka terlalu bodoh untuk mencerna puisi atau artikel saya, di
situ adalah kemenangan sesungguhnya, seperti melempar bumerang dari serpihan
peluru yang dia caci, lalu tubuhnya mati karena belum mengerti apa itu
bumerang, lucu bukan?
Atau,
bagaimana diksi menggambarkan kebahagiaan saya yang bisa melambung sampai
pangkal otak ikut menolak untuk sadar dan melihat ke bawah.
Diksi bukan bercerita seperti mulut yang hanya
merayu, diksi adalah kejujuran.
Jadi, menulis bukan tuntutan saya, atau hanya sebatas
gairah dalam seni, karena saya akan berhenti menulis sebelum dua tahun kalau
alasan saya hanya sebatas itu. Saya tidak akan pernah berhenti menulis, karena
saya butuh untuk menulis, saya butuh untuk bercerita, saya butuh untuk mencium realita
dengan diksi, karena diksi lima juta lebih kaya dari ucapan.
Comments
Post a Comment